Menangis di depan Ka’bah serasa membuat saya kembali ke umur 3 tahun. Merengek di pangkuan ibu karena sakit sewaktu terjatuh atau karena rindu saja pada ibu kenapa beliau lama sekali pulang dari kantor. Sementara ibu hanya tersenyum sambil mengelus-elus punggung saya.
Hanya kali ini bukan ibu yang mengelus punggung saya.
Lega sekali rasanya.
November 12, 2008 at 4:51 am
nicely put mas 🙂
November 12, 2008 at 4:56 am
Tengkyu om Nodi.
November 24, 2008 at 4:31 am
Mas Adhit,
Rekan seperjalanan saya pulang di kereta listrik (AC Ekonomi Tnh Abang-Pondok Ranji Bintaro) berangkat pergi haji tahun 2008 ini, ada 2 rekan di KRL yg mendapat hidayah pergi haji tahun ini.
Duhhhh… entah setengah iri hati saya ini ketika menyimak penuturan mereka soal jadwal keberangkatan mereka di awal minggu bulan November 2008 ini.
Tapi seperti apa yg Mas Adhit sampaikan di atas (ketika berada di depan Ka’bah mungkin tiada kata yg sempat keluar dari bibir), hal yang sama saya rasakan juga meski hanya mendengar bahwa ada rekan yg akan berangkat haji (padahal saya pergi Umroh aja belum pernah).
Enak ya Mas, bersimpuh di depan Ka’bah dan mengadu tersedu-sedu kepada-Nya? Entah kapan saya ada rizqi utk dapat ke sana?
Tapi saya yakin, suatu saat akan ada kesempatan bagi saya melihat Ka’bah secara langsung, Insya Allah.
Ohh iya… maaf sebelumnya salam kenal dari saya (yg bukan siapa² ini, sdh lancang berkomentar di sini).
November 24, 2008 at 5:24 am
Halo mas Anto,
Weleh, yang namanya komen di blog orang tu ya gak lancang to mas, hehehe.
Di Mekkah sendiri memang luar biasa pengalamannya, sepertinya kita pengen di sana saja terus.
Tapi ya 3 minggu berlalu dan kita harus kembali ke tanah air. Disini saya temui perjuangan sesungguhnya yang tersulit, bukan pas di Mekkahnya, tapi yaitu menjaga Haji kita ini sekembalinya dari Tanah Suci. Tidak sedikit yang lalu kembali ke keadaan awal lagi, (beribadah sacukupnya / alakadarnya), saya sendiri termasuk orang yang belum sempurna menjaga Haji saya. Di Mekkah itu beribadah itu menjadi ringan sekali mas, lha iya, wong seluruh dunia kumpul disitu untuk ibadah, suasananya selalu teduh dan damai, ibadah menjadi menyenangkan, tidak seperti keadaan normal di Jakarta.
Waktu itu setelah selesai Haji, dalam rangka mau naik pesawat dari Jeddah kembali ke Jakarta (atau Dubai-Jakarta ya?..hehe..lupa saya), sudah ada rekan2 Haji yang (sudah kembali) marah2 karena proses naik ke pesawatnya agak terhambat, hehehe.
Kalau begitu saya turut mendoakan supaya mas Anto berkesempatan mendapat undangan ke Tanah Suci, amin.
Oya, saya juga sempat baca2 di buku, tentang niat. Waktu itu tertulis kalau kita berniat sungguh2 ingin melakukan sesuatu (Haji misalnya), meskipun akhirnya gak kesampean InsyaAllah kita akan mendapat pahala sebesar apa yang kita niatkan (dalam hal ini pahala ber-Haji). Krn kita toh sebatas merencanakan, boleh apa gak kan bukan kita yang ngatur, tapi untungnya kita dilihat berdasarkan niat kita sesungguhnya just in case apa yang kita niatkan itu tidak di izinkan, begitu kata buku yg saya baca itu, luar biasa 🙂
May 17, 2009 at 12:24 am
doh, saya juga ingin sekali berkunjung ke tempat yang mendamaikan jiwa itu 🙂
sepertinya ada pengalaman yang tidak bisa terlukiskan dengan kata-kata y.. 🙂
June 29, 2009 at 9:07 am
mana mas postingan islam-nya lagi? hihihi
January 20, 2010 at 3:33 am
post yg begitu menyentuh.. saya terharu membacanya.. Subhanallah.. : )
January 20, 2010 at 8:46 am
Ya itu waktu disana, sayangnya kembali ke tanah air udah gak dapet feelnya, hehehe, beda bgt suasana spiritualnya.